Pembangkit Listrik Masa Depan Indonesia
Kadek
Fendy Sutrisna ST. dan Ardha Pradikta Rahardjo
Laboratorium Penelitian
Konversi Energi Elektrik
Sekolah Teknik Elektro dan
Informatika, Institut Teknologi Bandung
-
Pendahuluan
Setelah
pulih dari krisis moneter pada tahun 1998, Indonesia mengalami lonjakan
hebat dalam konsumsi energi. Dari tahun 2000 hingga tahun 2004 konsumsi
energi primer Indonesia meningkat sebesar 5.2 % per tahunnya.
Peningkatan ini cukup signifikan apabila dibandingkan dengan peningkatan
kebutuhan energi pada tahun 1995 hingga tahun 2000, yakni sebesar 2.9 %
pertahun. Dengan keadaan yang seperti ini, diperkirakan kebutuhan
listrik indonesia akan terus bertambah sebesar 4.6 % setiap tahunnya,
hingga diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada tahun 2030. Seperti
terlihat pada Gambar 1. [ER Indonesia]
Tentunya
pemerintah pun tidak tinggal diam dalam menghadapi lonjakan kebutuhan
energi, terutama energi listrik. Salah satu langkah awal yang pemerintah
lakukan adalah dengan membuat blueprint Pengelolaan Energi
Nasional 2006 – 2025 (Keputusan Presiden RI nomer 5 tahun 2006).
Secara garis besar, dalam blueprint tersebut ada dua macam
solusi yang dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025, yaitu
peningkatan efisiensi penggunaan energi (penghematan) dan pemanfaatan
sumber-sumber energi baru (diversifikasi energi). Mengingat rasio
elektrifikasi yang masih relatif rendah, yaitu 63 % pada tahun 2005,
sedangkan Indonesia menargetkan rasio elektrifikasi 95 % pada tahun
2025, maka pembahasan pada artikel ini akan lebih diarahkan pada
pemanfaatan sumber energi primer sebagai pembangkit listrik.
2. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang
memiliki sumber daya energi yang berlimpah dan beragam baik yang
bersumber dari fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas bumi. Ataupun
sumber energi alternatif dan terbarukan lainnya seperti tenaga surya,
tenaga angin, tenaga air, geothermal, biomasa dan lain-lain. Meskipun
potensi sumber energi yang dimiliki berlimpah, Indonesia sampai saat ini
tetap belum bisa memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri.
Diversifikasi energi (bauran
sumber energi) merupakan suatu konsep / strategi yang dapat dipergunakan
sebagai alat (tools) untuk mencapai pembangunan energi dan
ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan bauran energi (energy mix)
menekankan bahwa Indonesia tidak boleh hanya tergantung pada sumber
energi berbasis fosil, namun harus juga mengembangkan penggunaan energi
terbarukan. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu dikembangkan
dengan memperjelas strategi, sasaran penggunaan, jumlah pemanfaatandan
pengelolaan energi nasional, dengan mempertimbangkan potensi energi,
permintaan energi, infrastruktur energi serta faktor lainnya seperti
harga energi, teknologi, pajak, investasi dan sebagainya.
Pada
tahun 2005, sumber utama pasokan energi Indonesia adalah minyak
bumi ( 54.78 % ), disusul gas bumi ( 22,24 %
), batubara ( 16.77 % ), Air ( 3.72 %)
dan geothermal ( 2.46 % ). Sasaran pemerintah pada
tahun 2025, diharapkan terwujudnya bauran energi yang lebih optimal,
yaitu : minyak bumi ( < 20 % ), gas bumi
( > 30 %), batubara ( > 33 % ), biofuel
( > 5 % ), panas bumi ( > 5 % ), Energi
terbarukan lainnya ( > 5 % ) dan batubara yang
dicairkan ( > 2 % )[BluePrint]
Artikel ini akan mengkaji
kelebihan dan kekurangan masing-masing sumber energi di Indonesia.
Dengan memaparkan kelebihan dan kekurangan ini, diharapkan dapat
memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk mendukung program
pemerintah dalam mengembangkan energi di Indonesia berdasarkan blueprint
pengelolaan energi nasional (Presidential degree 5, 2006).
Artikel ini merupakan salah satu upaya dan kontribusi nyata dari penulis
(insinyur atau para ahli di perguruan tinggi) untuk dapat membangun
negara dan bangsa Indonesia yang lebih bermartabat karena mampu mandiri
di bidang energi.
3. Kriteria
Pemilihan Pembangkit
Meskipun
Indonesia memiliki banyak potensi energi yang dapat dikembangkan
menjadi pembangkit listrik, namun kenyataannya proses realisasinya tidak
semudah membalik telapak tangan. Pemilihan pembangkit listrik bukanlah
hal yang mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang,
seperti: prediksi pertumbuhan beban per tahun, karakteristik kurva
beban, keandalan sistem pembangkit, ketersediaan dan harga sumber energi
primer yang akan digunakan, juga isu lingkungan, sosial dan politik.
3.1
Karakteristik Beban
Hingga
saat ini tidak ada satu alat pun yang dapat menyimpan energi listrik
dalam kapasitas yang sangat besar. Untuk itu besarnya listrik yang
dibangkitkan harus disesuaikan dengan kebutuhan beban pada saat yang
sama. Apabila melihat kurva beban harian pada Gambar 3,
sebagai contoh kurva beban listrik di Pulau Jawa, terlihat bahwa beban
yang ditanggung PLN berubah secara fluktuatif setiap jamnya.
Secara
garis besar ada 3 tipe pembangkit listrik berdasarkan waktu
beroperasinya. Tipe base untuk menyangga beban-beban dasar yang
konstan, dioperasikan sepanjang waktu dan memiliki waktu mula yang
lama. Tipe intermediate biasanya digunakan sewaktu-waktu untuk
menutupi lubang-lubang beban dasar pada kurva beban, memiliki waktu mula
yang cepat dan lebih reaktif. Tipe peak/puncak, hanya
dioperasikan saat PLN menghadapi beban puncak, umumnya pembangkit tipe
ini memiliki keandalan yang tinggi, namun tidak terlalu ekonomis untuk
digunakan terus-menerus.
Melihat kurva diatas
pula, maka kebijakan mengenai pembangunan pembangkit baru juga harus
merefleksikan kurva beban sesuai dengan proyeksi kebutuhan listrik
dimasa depan. Maka nantinya akan terlihat berapa pembangkit yang harus
menjadi pembangkit tipe base dan berapa yang menjadi pembangkit
mendukung beban intermediate dan beban puncak.
3.2
Keandalan Pembangkit
Salah
satu hal penting dari penyediaan pasokan energi listrik adalah isu
keandalan. Keandalan kapasitas pembangkit didefenisikan sebagai
persesuaian antara kapasitas pembangkit yang terpasang terhadap
kebutuhan beban. Artinya pasokan energi diharuskan selalu tersedia untuk
melayani beban secara kontinyu.
Banyak
faktor yang menjadi parameter keandalan dan kualitas listrik.
Diantaranya : (i) Ketidakstabilan frekuensi (ii) Fluktuasi tegangan
(iii) interupsi atau pemadaman listrik. Untuk parameter pertama dan
kedua, umumnya permasalahannya muncul di sektor transmisi atau
distribusi. Sedangkan parameter ketiga lebih banyak pada sektor
pembangkitan, karena terkait masalah pemenuhan kapasitas pasokan
terhadap beban.
Metoda
yang biasa digunakan untuk menentukan indeks itu adalah dengan metoda
LOLP (Loss Of Load Probability) atau sering dinyatakan sebagai
LOLE (Loss Of Load Expectation). Probabilitas kehilangan beban
adalah metode yang dipergunakan untuk mengukur tingkat keandalan dari
suatu sistem pembangkit dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya
peristiwa sistem pembangkit tidak dapat mensuplai beban secara penuh.
Banyak
kegagalan pembangkit terjadi akibat tidak tersedianya sumber energi
primer. Permasalahan ketersediaan ini seringkali menimpa
pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil. Di Indonesia sendiri banyak
pembangkit berbahan bakar gas yang harus dioperasikan dengan bahan bakar
minyak karena langkanya ketersediaan gas untuk konsumsi pembangkit
Indonesia. Atau bisa juga karena masalah distribusi yang tersendat,
seperti masalah kapal batu bara yang tidak bisa merapat, terganggu
akibat faktor cuaca. Sedangkan pada kebanyakan pembangkit listrik energi
terbarukan, ketersediaanya memang bisa dibilang cukup menjanjikan,
karena semuanya memang sudah tersedia di alam dan tinggal dimanfaatkan
saja.
3.3 Aspek
Ekonomi
Pertimbangan
aspek ekonomi pembangkit umumnya meliputi 3 lingkup besar, yaitu: (i)
biaya investasi awal; (ii) biaya operasional; (iii) biaya perawatan
pembangkit. Sifat ekonomis sebuah sistem pembangkit listrik dapat
dilihat dari harga jual listrik untuk setiap kWh (kilo watt kali jam).
Salah satu faktor yang mempengaruhi bahwa pembangkit listrik-ekonomis
(harga jual listrik serendah mungkin untuk setiap kWh) adalah biaya
bahan bakar. Secara umum, biaya bahan bakar untuk pembangkit berbahan
bakar fosil adalah 80 % dari biaya pembangkitan dan untuk pembangkit
nuklir adalah 50 % dari biaya pembangkitan.
3.4 Aspek
Lingkungan dan Geografis
Sistem harus sesuai dengan kondisi
geografis dan hubungan antarnegara. Sebuah pembangkit dibangun mengacu
pada letak geografis dan pengaruhnya terhadap negara tetangga atau
negara lain. Misalkan sebuah PLTU dioperasikan dan mengeluarkan gas CO2 ke udara. Pengontrolan terhadap pengeluaran gas CO2 perlu di lakukan juga oleh negara tetangga atau negara
lain. Di dalam hal ini, kerja sama internasional sangat diperlukan untuk
menjamin sistem berkeselamatan andal dan ramah lingkungan.
3.5 Aspek
Sosial dan Politik
Sistem
harus sesuai dengan program penelitian dan pengembangan negara itu
serta terbentuknya kerja sama yang harmonis antara pemerintah dan
masyarakat untuk menjamin tingkat keselamatan sistem yang tinggi dan
andal. Kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah tentang program
penelitian dan pengembangan bidang energi harus sesuai / searah untuk
menjamin perencanaan energi nasional di masa depan berlangsung dengan
baik.
Energi
nasional seharusnya dapat direncanakan dan diprediksi secara jangka
pendek maupun jangka panjang dengan berdasarkan 5 kriteria
pemilihan/kompatibilitas pembangkit. Hal ini untuk menjamin sebuah
sistem pembangkit yang mendukung program energi nasional dapat
beroperasi dengan baik dan berkeselamatan. Andal agar lingkungan tidak
tercemari dan hubungan kerja sama internasional tetap berlangsung dengan
baik. Berdasarkan kriteria tersebut, perencanaan bauran energi nasional
sangat diperlukan untuk menghilangkan ketergantungan teknologi kepada
salah satu jenis pembangkit, serta menjamin keberlangsungan kebutuhan
energi di masa depan.
4 Jenis-Jenis
Pembangkit
Krisis energi dunia yang
terjadi pada tahun 1973 dan tahun 1979 memberikan pengalaman berharga
kepada Indonesia khususnya tentang masalah dan dampak yang terjadi
akibat ketergantungan pada satu jenis energi yang diimpor yaitu minyak
bumi. Kenaikan harga minyak dunia mempengaruhi stabilitas ekonomi
Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya permintaan untuk pusat-pusat
pembangkit tenaga listrik yang dapat mempergunakan jenis bahan bakar
lain. Pada saat ini terdapat 5 jenis bahan bakar untuk pembangkitan
tenaga listrik skala besar, yaitu : minyak, gas, batubara, hidro dan
nuklir. Kemudian berkembang tuntutan-tuntutan lain, yaitu keperluan
peningkatan efisiensi pembangkitan dan perlunya teknologi yang lebih
bersahabat lingkungan. Perkembangan pembangkit listrik energi
terbarukan, biomasa dan geothermal juga menjadi suatu sasaran yang
penting.
4.1
Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Minyak
Terminologi pembangkit
listrik berbahan bakar minyak pada umumnya diidentikkan dengan
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Walau pada kenyataannya bahan
bakar minyak juga terkadang digunakan pada PLTG (akan dibahas pada 2.2).
Prinsip kerja PLTD adalah dengan menggunakan mesin diesel yang berbahan
bakar High Speed Diesel Oil (HSDO). Mesin diesel bekerja berdasarkan
siklus diesel. Mulanya udara dikompresi ke dalam piston, yang kemudian
diinjeksi dengan bahan bakar kedalam tempat yang sama. Kemudian pada
tekanan tertentu campuran bahan bakar dan udara akan terbakar dengan
sendirinya. Proses pembakaran seperti ini pada kenyataannya terkadang
tidak menghasilkan pembakaran yang sempurna. Hal inilah yang menyebabkan
efisiensi pembangkit jenis ini rendah, lebih kecil dari 50 %. Namun
apabila dibandingkan dengan mesin bensin (otto), mesin diesel pada
kapasitas daya yang besar masih memiliki efisiensi yang lebih tinggi,
hal ini dikarenakan rasio kompresi pada mesin diesel jauh lebih besar
daripada mesin bensin.
Keuntungan utama penggunaan
pembangkit listrik berbahan bakar minyak atau sering disebut dengan PLTD
adalah dapat beroperasi sepanjang waktu selama masih tersediannya bahan
bakar. Kehandalan pembangkit ini tinggi karena dalam operasinya tidak
bergantung pada alam seperti halnya PLTA. Mengingat waktu start-nya
yang cepat namun ongkos bahan bakarnya tergolong mahal dan bergantung
dengan perubahan harga minyak dunia yang cenderung meningkat dari tahun
ke tahun,PLTD disarankan hanya dipakai untuk melayani konsumen pada saat
beban puncak saja.
Investasi awal pembangunan PLTD
yang relatif murah, kebutuhan energi di daerah-daerah terisolasi yang
mendesak dan kebutuhan energi daerah-daerah yang belum terlalu besar,
pemerintah Indonesia berinisiatif membangun PLTD yang berfungsi sebagai base-supply
untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah-daerah ini, untuk mengurangi
biaya transmisi dan rugi-rugi jaringan dalam menyalurkan energi listrik
dari kota terdekat.
Dengan digunakannya bahan bakar
konvensional maka adanya kemungkinan pembangkit ini akan sulit
dioperasikan di masa depan karena persediaan minyak bumi dunia yang
semakin menipis. Harga minyak yang terus meningkat menjadi pertimbangan
utama dalam menggunakan pembangkit ini. Harga minyak yang mahal
diakibatkan karena pasar minyak dunia yang tidak stabil dan ongkos
transportasi untuk membawa minyak tersebut ke daerah yang dituju.
Padahal di sisi beban, PLN dipaksa menjual dengan harga murah. Inilah
yang menyebabkan PLN rugi besar.
Penulis
berpendapat bahwa dengan memperhatikan alasan utama masalah
ketersediaan minyak bumi nasional yang semakin sedikit, maka akan lebih
bijaksana apabila tingkat konsumsi pembangkit listrik berbahan bakar
minyak dikurangi. Dengan cara seperti itu diharapkan akan mempercepat
Indonesia menjadi negara yang mandiri energi, tidak terpengaruh dengan
krisis energi global. Oleh karena itu, upaya bauran energi nasional
pembangkit listrik di Indonesia harus segera direalisir menjadi tindakan
yang konkret dan menjadi komitmen bersama.
4.2
Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas
Turbin gas kini memegang
peran penting di dalam pengembangan pusat-pusat pembangkit tenaga
listrik yang baru. Peran itu tampaknya masih akan terus berlanjut
memasuki abad ke-21 yang akan datang. Dominasi ini disebabkan karena
efisiensi termal yang dimiliki turbin gas yang relatif tinggi bila
dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar lainnya. Perkembangan yang
cepat dari teknologi turbin gas dimulai dari awal 1990-an, dengan
mempergunakan gas bumi sebagai bahan bakar akan meningkatkan efisiensi
pusat listrik siklus kombinasi (combine cycle) mendekati 60 %. Diprediksi bahwa efisiensi ini
masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.
Pada Gambar
4 dijelaskan tentang cara kerja pembangkit listrik berbahan
bakar gas. Prinsip kerja PLTG adalah dengan mamanfaatkan tekanan
aliran udara ungtuk menggerakkan turbin. Pertama-tama udara dinaikkan
tekanannya dengan menggunakan kompresor dan kemudian dibakar di ruang
pembakaran untuk meningkatkan energinya. Pembakaran dilakukan dengan
menggunakan bahan bakar gas (bisa juga digunakan MFO atau HSDO, tapi
dengan efisiensi yang lebih rendah). Udara yang sudah bertekanan tinggi
kemudian dialirkan melalui turbin dan menggerakkan generator, sehingga
dihasilkanlah listrik. Keuntungan lain menggunakan PLTG adalah gas yang
dipakai bisa dibilang lebih mudah untuk disiapkan daripada uap, sehingga
PLTG bisa mulai berproduksi dengan cepat dari keadaan ‘dingin’ dalam
hitungan menit, jauh lebih cepat daripada PLTU.
Satu hal yang menarik pada PLTG adalah gas yang
keluar dari turbin biasanya masih ‘cukup panas’. Cukup panas disini
dalam artian bila di sebelah PLTG ada sebuah PLTU, maka gas hasil proses
di PLTG masih dapat digunakan untuk memanaskan boiler kepunyaan PLTU.
Inilah kemudian yang dikenal dengan sebutan siklus kombinasi, sebuah
pembangkit yang terdiri dari PLTG dan PLTU.
Keuntungan dari pembangkit listrik gabungan ini, PLTGU (gas – uap),
harga jual listriknya relatif lebih murah bila dibandingkan dengan harga
jual listrik PLTU-batubara.
Apabila Indonesia mampu
mengolah dengan baik penggunaan cadangan gas bumi nasionalnya sehingga
diperoleh pemasokan gas bumi untuk pembangkit dengan harga yang lebih
rendah, maka biaya listrik dari pengoperasian PLTGU akan bisa lebih
murah lagi. Selain pembangkitan listrik yang murah, keuntungan lain dari
pembangkit listrik berbahan bakar gas bumi adalah emisi CO2
yang sangat rendah. PLTGU sering disebut sebagai bahan bakar yang
‘bersih’ sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang minimal.
Indonesia : dalam hal ini PT PLN (Persero), sekarang ini
telah banyak mengoperasikan PLTGU. Dapat dikemukakan bahwa pada saat ini
perusahaan Amerika GE (General Electric) berusaha untuk meningkatkan
efisiensi PLTGU yang dapat melampaui 60 % dengan mempergunakan siklus
kombinasi Kalina, yang mempergunakan suatu campuran dari air (H2O)
dan amonia (NH3) sebagai fluida kerja. Teknologi kogenarsi,
yang membangkitkan energi listrik dan panas dapat menghasilkan efisiensi
yang lebih tinggi lagi bahkan hingga 90 %. Teknologi ini juga sudah
dimanfaatkan di beberapa pabrik di Indonesia.
Namun kendala utama perkembangan pembangkit ini di
Indonesia adalah pada proses penyediaan bahan bakar gas itu sendiri.
Pemeriksaan BPK menemukan bahwa jumlah kebutuhan gas bumi untuk sejumlah
pembangkit PLN di Jawa dan Sumatera sebanyak 1.459 juta kaki kubik per
hari, sedangkan pasokan gas yang disediakan oleh para pemasok sebanyak
590 juta kaki kubik per hari. Dengan demikian terjadi kekurangan pasokan
gas sebanyak 869 juta kaki kubik per hari
Menurut data
Departemen ESDM, gas bumi di Indonesia di perkirakan hanya mencukupi
untuk 61 tahun kedepan. Kemudian cadangan batubara diperkirakan habis
dalam waktu 147 tahun lagi, sedangkan cadangan minyak bumi hanya cukup
untuk 18 tahun kedepan. Agar mampu mengembangkan PLTGU di Indoneia,
permasalahan persaingan penggunaan gas bumi : untuk transportasi,
pembangkit listrik-industri dan konsumsi publik (program pemerintah :
PT. Pertamina yang menyarankan konversi minyak tanah ke bahan bakar gas
untuk memasak dan lain-lain), hal ini harus dapat diatur dengan jelas
penyediaannya agar tidak menjadi dua hal yang saling kompetitif.
4.3
Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batubara
Secara global, fakta
menyebutkan bahwa lebih banyak energi listrik dibangkitkan dengan
batubara dibandingkan dengan bahan bakar lain. Situasi ini tampaknya
masih akan terus berlanjut, hal ini disebabkan karena cadangan batubara
yang besar. Namun di lain pihak, masalah utama pembangkit listrik
berbahan bakar batubara adalah pembangkitan listrik ini merupakan salah
satu kontributor pencemaran gas CO2 yang terbesar. Karena
alasan tersebut berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi masalah
pencemaran itu, yang sering dinamakan dengan teknologi batubara bersih.
Gambar 5 menunjukan cara kerja pembangkit listrik berbahan
bakar batubara. Pertama-tama batubara dari luar dialirkan ke
penampung batubara dengan conveyor, kemudian dihancurkan dengan
pulverized fuel coal sehingga menjadi tepung batubara.
Kemudian batubara halus tersebut dicampur dengan udara panas oleh forced
draught fan sehingga menjadi campuran udara panas dan batubara.
Dengan tekanan yang tinggi, campuran udara panas dan batubara
disemprotkan ke dalam boiler sehingga akan terbakar dengan
cepat seperti semburan api. Kemudian air dialirkan ke atas melalui pipa
yang ada di dinding boiler, air tersebut akan dimasak menjadi
uap dan uap tersebut dialirkan ke tabung boiler untuk
memisahkan uap dari air yang terbawa. Selanjutnya uap dialirkan ke superheater
untuk melipatgandakan suhu dan tekanan uap hingga mencapai suhu 570° C
dan tekanan sekitar 200 bar yang meyebabkan pipa akan ikut berpijar
menjadi merah.
Untuk mengatur turbin agar mencapai set point,
kita dapat men-setting steam governor valve secara
manual maupun otomatis. Uap keluaran dari turbin mempunyai suhu sedikit
di atas titik didih, sehingga perlu dialirkan ke condenser agar
menjadi air yang siap untuk dimasak ulang. Sedangkan air pendingin dari
condenser akan di semprotkan kedalam cooling tower. Hal
inilah yang meyebabkan timbulnya asap air pada cooling tower.
Kemudian air yang sudah agak dingin dipompa balik ke condenser
sebagai air pendingin ulang. Sedangkan gas buang dari boiler diisap oleh
kipas pengisap agar melewati electrostatic precipitator untuk
mengurangi polusi dan kemudian gas yg sudah disaring akan dibuang
melalui cerobong.
Teknologi gasifikasi
merupakan pemecahan yang kini mulai dipandang sebagai teknologi batubara
yang dapat memenuhi keperluan akan pembangkitan tenaga listrik yang
bersih dan efisien (teknologi batubara bersih). Diperkirakan bahwa pada
awal abad ke-21, PLTU-batubara dengan teknologi gasifikasi akan
mengeluarkan 99 % lebih sedikit sulfur dioksida (SO2) dan abu
terbang, serta 90 % kurang nitrogen oksida (NOx) dari
PLTU-batubara masa kini. PLTU-batubara gasifikasi juga diperkirakan akan
menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) dengan 35 – 40 %,
menurunkan buangan padat dengan 40 – 50 % dan menghasilkan penghematan
biaya daya 10 – 20 %. Teknologi gasifikasi digabung dengan teknologi
turbin gas maju akan memegang peran utama dalam pusat-pusat pembangkit
gasifikasi terpadu.
Gasifikasi batubara
maupun minyak residu sudah terjadi memanfaatkan kayu buangan atau bagas
tebu juga menjanjikan. Dengan meningkatnya tuntunan-tuntunan lingkungan,
kemungkinan besar teknologi gasifikasi akan menyebabkan batubara akan
dapat mempertahankan posisi utamanya sebagai bahan bakar untuk
pembangkitan tenaga listrik. Karena memiliki cadangan batubara yang
cukup besar, terutama yang berupa lignit, teknologi gasifikasi akan
menjadi sangat penting bagi Indonesia di masa mendatang. Di Amerika
Serikat telah ada bebarapa proyek demontrasi siklus kombinasi gas
terpadu (Integrated Gas Combined Cycle, IGCC), antara lain Wabash River
Repowering Project di Indiana dengan daya 262 MWdan Camden Clean Energy
Demonstration Project di New Jersey dengan daya 480 MW.
Teknologi pencairan
batubara masih banyak terganggu oleh biaya yang tinggi. Negara yang
paling maju dalam bidang ini adalah Afrika Selatan. Negara ini memiliki
beberapa pabrik yang memproduksi batubara cair. Pabrik pertama adalah
“Sasol One” terletak dekat kota Sasolburg, yang sejak pertengah 1950an
telah berproduksi. Pabrik kedua, ‘Sasol Two’, terletak di kota Secunde
berproduksi sejak tahun 1980, dan pabrik ketiga, ‘Sasol Three’,
berproduksi sejak tahun 1982.
Walaupun teknologi
pengolahan batubara sebagai bahan bakar primer sudah jauh berkembang dan
cadangan nasional batubara cukup tinggi, sayangnya pembangkit listrik
ini membuang energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan. Setiap
1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara
akan mengemisikan 5,6 juta ton CO2 per tahun.CO2
merupakan salah satu gas yang paling menyebabkan global warming atau
efek rumah kaca. Bagaimanapun teknologi batubara bersih yang digunakan,
Penulis masih menganggap bahwa proses gasifikasi / batubara cair ‘belum’
bisa mengurangi emisi gas karbondioksida dan ‘belum’ bisa meningkatkan
efisiensi bahan bakar. Terlalu banyak energi yang dibuang selama proses
pengolahan dari batubara ‘mentah’ menjadi batubara cair/gas. Walaupun
PLTU dengan teknologi batubara bersih mampu mengurangi 90 % gas buangan
dan abu terbangnya pada saat beroperasi, namun polutan selama proses
pembuatan batubara cair / gasyang dihasilkan masih cukup tinggi.
4.5
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) mengalami beberapa perkembangan yang sangat
signifikan, terutama perkembangan di pembuatan desain sedemikian hingga
PLTN generasi berikutnya menjadi lebih andal, aman, ekonomis serta lebih
mudah untuk dioperasikan. Peningkatan keandalan dan keamanan diperoleh
pada penyederhanaan sistem pipa primer, perbaikan pada mekanisme batang
kendali dan optimasi dari pendinginan inti dalam keadaan darurat.
Peningkatan kemudahan
operasi dan pemeliharaan diupayakan dengan cara perbaikan sistem
instrumentasi dan pengendalian, sedangkan penurunan biaya konstruksi dan
operasi diharapkan dapat meningkatkan unjuk kerja secara ekonomis.
Pengembangan teknologi PLTN juga meliputi penurunan jumlah dari limbah
radioaktif yang dihasilkan. Perkembangan terpesat PLTN kini terjadi di
RRC, yang diperkirakan akan memiliki 20 GW daya terpasang PLTN pada
tahun 2010. PLTN yang banyak terpasang adalah PWR (Pressurized Water
Reactor), diperkirakan juga akan berkembang PLTN Candu (Canadian
Deuterium Uranium), teknologi dari Kanada.
Cara kerja PLTN jenis PWR dan
BWR ditunjukkan pada Gambar 6 : yang
berbeda dari PLTN adalah mesin pembangkit uapnya, yaitu berupa reaktor
nuklir. Dalam reaktor nuklir, reaksi fisi berantai dipertahankan
kontinuitasnya dalam bahanbakar sehingga bahan bakar menjadi panas.
Panas ini kemudian ditransfer ke pendingin reaktor yang kemudian secara
langsung atau tak langsung digunakan untuk membangkitkan uap.
Pembangkitan uap langsung dilakukan dengan membuat pendingin reaktor
(biasanya air biasa, H2O) mendidih dan menghasilkan uap. Pada
pembangkitan uap tak langsung, pendingin reaktor (disebut pendingin
primer) yang menerima panas dari bahan bakar disalurkan melalui pipa ke
perangkat pembangkit uap. Pendingin primer ini kemudian memberikan panas
(menembus media dinding pipa) ke pendingin sekunder (air biasa) yang
berada di luar pipa perangkat pembangkit uap untuk kemudian panas
tersebut mendidihkan pendingin sekunder dan membangkitkan uap.
Pada umumnya tipe reaktor nuklir dalam PLTN
dibedakan berdasarkan komposisi, konstruksi dari bahan moderator neutron
dan bahan pendingin yang digunakan, sehingga digunakan sebutan seperti
reaktor gas, reaktor air ringan, reaktor air berat (air ringan (H2O)
dan air berat (D2O) ; D adalah salah satu isotop hidrogen,
yaitu deuterium 2H1). Selain itu, faktor kondisi air
pendingin juga menjadi pertimbangan penggolongan tipe reaktor nuklir
dalam PLTN. Jika air pendingin dalam kondisi mendidih disebut reaktor
air didih, jika tak mendidih (atau tidak diizinkan mendidih, dengan
memberi tekanan secukupnya pada pendingin) disebut reaktor air tekan.
Reaktor nuklir dengan temperatur pendingin sangat tinggi (di atas 800o
C) disebut reaktor gas temperatur tinggi. Kecepatan neutron
rata-rata dalam reaktor yang dihasilkan dari reaksi fisi juga dipakai
untuk menggolongkan tipe reaktor. Berdasarkan kecepatan neutron
rata-rata dalam teras, ada reaktor cepat dan reaktor termal (neutron
dengan kecepatan relatif lambat sering disebut sebagai neutron termal).
Terdapat beberapa tipe Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN), yaitu : (i) Reaktor Air Tekan (Pressurized
Water Reactor, PWR); (ii) Reaktor Air Tekan Rusia (VVER); (iii)
Reaktor Air Didih (Boiling Water Reactor, BWR); (iv)
Reaktor Air Berat Pipa Tekan (CANDU); (v) Reaktor Air Berat
Pembangkit Uap (Steam Generating Heavy Water Reactor, SGHWR); (vi)
Reaktor Pendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR); (vii)
Reaktor Gas Maju (Advanced Gas Reactor, AGR); (viii)
Reaktor Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas Reactor, HTGR); (ix)
Reaktor Moderator Grafit Pendingin Air Didih (RBMK); (x)
Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor, FBR).
Reaktor Air Ringan (Light Water Reactor,
LWR) : Diantara PLTN yang masih beroperasi di dunia, 80 %
adalah PLTN tipe Reaktor Air Ringan (LWR). Reaktor ini pada awalnya
dirancang untuk tenaga penggerak kapal selam angkatan laut Amerika.
Dengan modifikasi secukupnya dan peningkatan daya seperlunya kemudian
digunakan dalam PLTN. PLTN tipe ini dengan daya terbesar yang
masih beroperasi pada saat ini (tahun 2003) adalah PLTN
Chooz dan Civaux di Perancis yang mempunyai daya 1500
MWe, dari kelas N-4 Perancis. Reaktor Air Ringan dapat dibedakan menjadi
dua golongan yaitu Reaktor Air Didih dan
Reaktor Air Tekan (pendingin tidak mendidih), kedua
golongan ini menggunakan air ringan sebagai bahan pendingin
dan moderator. Pada tipe reaktor air ringan sebagai
bahan bakar digunakan uranium dengan pengayaan rendah sekitar2 – 4 %
(bukan uranium alam karena sifat air yang menyerap neutron). Kemampuan
air dalam memoderasi neutron (menurunkan kecepatan / energi neutron)
sangat baik, maka jika digunakan dalam reaktor (sebagai moderator
neutron dan pendingin) ukuran teras reaktor menjadi lebih kecil (kompak)
bila dibandingkan dengan reaktor nuklir tipe reaktor gas dan reaktor
air berat.
Reaktor Air Tekan (Pressurized Water
Reactor, PWR) : Pada PLTN tipe PWR, air sistem pendingin
primer masuk ke dalam bejana tekan reaktor pada tekanan
tinggi dan temperatur lebih kurang 290o C. Air bertekanan
dan bertemperatur tinggi ini bergerak pada sela-sela
batang bahan bakar dalam perangkat bahan bakar ke arah atas
teras sambil mengambil panas dari batang bahan bakar, sehingga
temperaturnya naik menjadi sekitar 320o C.
Air pendingin primer ini kemudian disalurkan ke perangkat pembangkit
uap (lewat sisi dalam pipa pada perangkat pembangkit uap), di perangkat
ini air pendingin primer memberikan energi panasnya ke
air pendingin sekunder (yang ada di sisi luar pipa
pembangkit uap) sehingga temperaturnya naik sampai titik didih dan
terjadi penguapan. Uap yang dihasilkan dari penguapan
air pendingin sekunder tersebut kemudian dikirim ke
turbin untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator listrik.
Perputaran generator listrik akan menghasilkan energi
listrik yang disalurkan ke jaringan listrik. Air pendingin
primer yang ada dalam bejana reaktor dengan temperatur 320o C
akan mendidih jika berada pada tekanan udara biasa
(sekitar 1 atm). Agar pendingin primer ini tidak mendidih,
maka sistem pendingin primer diberi tekanan hingga 157 atm. Karena
adanya pemberian tekanan ini maka bejana reaktor sering
disebut sebagai bejana tekan atau bejana tekan
reaktor. Pada reaktor tipe PWR, air pendingin primer yang membawa
unsur-unsur radioaktif dialirkan hanya sampai ke
pembangkit uap, tidak sampai turbin, oleh karena itu pemeriksaan
dan perawatan sistem sekunder (komponen sistem sekunder: turbin,
kondenser, pipa penyalur, pompa sekunder dan lain-lain)
menjadi mudah dilakukan. Konstruksi bejana reaktor tipe PWR ditunjukkan
pada Gambar 6.
Pada prinsipnya PWR yang dikembangkan oleh Rusia
(disebut VVER) sama dengan PWR yang dikembangkan oleh negara-negara
barat. Perbedaan konstruksi terdapat pada bentuk penampang perangkat
bahan bakar VVER (berbentuk segi enam) dan letak pembangkit uap VVER
(horisontal). Pada reaktor tipe PWR, seperti yang banyak beroperasi saat
ini, peralatan sistem primer saling dihubungkan membentuk suatu untai (loop).
Jika peralatan sistem primer dihubungkan oleh dua pipa
penghubung utama yang diperpendekdan kemudian dimasukkan dalam bejana
reaktor maka sistem seperti ini disebut reaktor setengah terintegrasi
(setengah modular). Tetapi jika seluruh sistem primer
disatukan dan dimasukkan ke dalam bejana reaktor maka
disebut reaktor terintegrasi (modular), lihat. Reaktor setengah modular
ataupun modular tidak dikembangkan untuk PLTN berdaya besar.
Reaktor Air Didih (Boiling Water
Reactor, BWR) : Karakteristika unik dari reaktor air didih
adalah uap dibangkitkan langsung dalam bejana reaktor
dan kemudian disalurkan ke turbin pembangkit listrik. Pendingin dalam
bejana reactor berada pada temperatur sekitar 285o
C dan tekanan jenuhnya sekitar 70 atm. Reaktor ini tidak
memiliki perangkat pembangkit uap tersendiri, karena uap dibangkitkan
di bejana reaktor. Karena itu pada bagian atas bejana
reaktor terpasang perangkat pemisah dan pengering uap,
akibatnya konstruksi bejana reaktor menjadi lebih rumit. Konstruksi
reaktor BWR diperlihatkan pada Gambar 6.
Reaktor Air Berat (Heavy Water Reactor,
HWR) : Dalam hal kemampuan memoderasi
neutron, air berat berada pada urutan berikutnya setelah air
ringan, tetapi air berat hampir tidak menyerap neutron. Oleh karena itu
jika air berat dipakai sebagai moderator, maka dengan hanya menggunakan
uranium alam (tanpa pengayaan) reaktor dapat
beroperasi dengan baik. Bejana reaktor (disebut kalandria)
merupakan tangki besar yang berisi air berat, di dalamnya
terdapat pipa kalandria yang berisi perangkat bahan
bakar. Tekanan air berat biasanya berkisar pada tekanan satu atmosferdan
temperaturnya dijaga agar tetap di bawah 100o C. Akan tetapi
pendingin dalam pipa kalandria mempunyai tekanan dan
temperatur yang tinggi, sehingga konstruksi pipa kalandria
berwujud pipa tekan yang tahan terhadap tekanan dan temperatur yang
tinggi.
Reaktor Air Berat Tekan (Pressurized
Heavy Water Reactor, PHWR) : CANadian Deuterium
Uranium Reactor (CANDU) adalah suatu PLTN yang tergolong pada
tipe reaktor pendingin air berat tekan dengan pipa tekan.
Reaktor ini merupakan reaktor air berat yang banyak
digunakan. Bahan bakar yang digunakan adalah uranium alam. Kanada
menjadi pelopor penyebaran reaktor tipe ini di seluruh dunia.
Reaktor Air Berat
Pendingin Gas (Heavy Water Gas Cooled Reactor, HWGCR) :
HWGCR atau sering dibalik GCHWR adalah suatu tipe reaktor
nuklir yang menggunakan air berat sebagai bahan
moderatornya, sehingga pemanfaatan neutronnya optimal. Gas pendingin
dinaikkan temperaturnya sampai pada tingkat yang cukup tinggi sehingga
efisiensi termal reaktor ini dapat ditingkatkan. Tetapi
oleh karena persoalan pengembangan bahan kelongsong
yang tahan terhadap temperatur tinggi dan paparan radiasi lama belum
terpecahkan hingga sekarang, maka pada akhirnya di dunia hanya
terdapat 4 reaktor tipe ini. Di negara Perancis
reaktor tipe ini dibangun, tetapi sebagai bahan kelongsong tidak
digunakan berilium melainkan stainless steel.
Reaktor Air Berat
Pembangkit Uap (Steam Generated Heavy Water Reactor, SGHWR) :
Reaktor ini sering disebut Light Water Cooled Heavy Water
Reactor (LWCHWR) dan hanya ada di Pusat Penelitian
Winfrith Inggris. Reaktor berdaya 100 MWe ini merupakan prototipe
reaktor pembangkit daya tipe SGHWR dan beroperasi dari tahun
1968 sampai tahun 1990. Pada waktu itu reaktor SGHWR
sempat menjadi suatu fokus pengembangan di Inggris, tetapi oleh
karena persoalan ekonomi maka tidak dikembangkan lebih lanjut. Sementara
itu Jepang mengembangkan reaktor air berat yang disebut Advanced
ThermalReactor (ATR). Jepang membangun reaktor
ATR Fugen berdaya 165 MWe. Keunikan dari reaktor ATR
ini adalah, bahan bakar dapat terbuat dari uranium dengan pengayaan
rendah atau uranium alam yang diperkaya dengan
plutonium. Pada saat bahan bakar terbakar, penyusutan
plutonium di bahan bakar sedikit sekali. Reaktor prototipe Fugen
dioperasikan sejak tahun 1979, tetapi karena terjadi
perubahan kebijakan dari pemerintah, sampai saat ini reaktor
ATR komersial belum pernah terwujud. Reaktor Fugen beroperasi hingga
tahun 2002 dan pada tahun berikutnya
direncanakan untuk didekomisioning.
Reaktor GrafitPendingin
Gas (Gas Cooled Reactor, GCR) : Grafit sebagai bahan
moderator sudah digunakan oleh ilmuwan Enrico Fermi sejak reaktor nuklir
pertama Chicago Pile No.1 (CP 1). Grafit terkenal murah dan dapat
diperoleh dalam jumlah besar. Plutonium (Pu-239) yang digunakan pada bom
atom yang dijatuhkan pada saat Perang Dunia II dibuat di reaktor
grafit. Setelah perang dunia berakhir reaktor GCR adalah salah satu tipe
reaktor yang didesain-ulang di Inggris maupun Perancis. Reaktor ini
menggunakan bahan bakar logam uranium alam, moderator grafit pendingin
gas karbondioksida. Bahan kelongsong terbuat dari paduan magnesium (Magnox),
oleh karena itu reaktor ini disebut sebagai reaktor Magnox. Reaktor
Magnox mempunyai pembangkitan daya listrik cukup besar dan efisiensi
ekonomi yang baik. Raktor tipe modifikasi Magnox pernah dibangun di
Jepang pada tahun 1967 sebagai PLTN Tokai. Setelah
beroperasi selama 30 tahun reaktor ini ditutup pada tahun 1998.
Reaktor Grafit Pendingin
Gas Maju (Advanced Gas-cooled Reactor, AGR) : Di
Inggris fokus pengembangan teknologi PLTN bergeser ke reaktor berbahan
bakar uranium dengan pengayaan rendah, yang memiliki
kerapatan daya dan efisiensi termal yang tinggi. Unjuk
kerja reaktor ini terbukti dapat diperbaiki. Di Inggris reaktor ini
hanya sempat dibangun sebanyak 14 buah saja, karena
setelah pertengahan tahun 1980 kebijakan Pemerintah Inggris
berubah.
Reaktor Grafit Pendingin
Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas-cooled Reactor, HTGR) : Reaktor
ini menggunakan gas helium sebagai pendingin. Karakteristika menonjol
yang unik dari reaktor HTGR ini adalah konstruksi teras
didominasi bahan moderator grafit, temperature operasi
dapat ditingkatkan menjadi tinggi dan efisiensi pembangkitan listrik
dapat mencapai lebih dari 40 %. Terdapat 3 bentuk bahan
bakar dari HTGR, yaitu dapat berupa: (a) Bentuk batang
seperti reaktor air ringan (dipakai di reaktor Dragon dan Peach
Bottom); (b) Bentuk blok, di mana di dalam lubang blok
grafit yang berbentuk segi enam di masukkan batang bahan
bakar (dipakai di reaktor Fort St. Vrain, MHTGR, HTTR); (c) Bentuk bola
(peble bed), di mana butir bahan bakar
bersalut didistribusikan dalam bola grafit (dipakai di reaktor AVR,
THTR-300).
Reaktor Grafit Pipa
Tekan Air Didih Moderator Grafit (Light Water Gas-cooled Reactor,
LWGR) RBMK adalah reaktor tipe ini yang hanya
dikembangkan di Rusia. Reaktor ini tidak menggunakan
tangki kalandria (berisi air berat) seperti reaktor tipe SGHWR tetapi
menggunakan grafit sebagai moderator, oleh karena itu
dimensi reaktor menjadi besar. Sekitar 1700
buah pipa tekan menembus susunan blok grafit. Di dalam pipa tekan diisi
batang bahan bakar di mana di sekelilingnya mengalir air
ringan yang mengambil panas dari batang bahan
bakar sehingga mendidih. Uap yang terbentuk dikirim ke turbin pembangkit
listrik untuk memutar turbin dan membangkitkan listrik.
Salah satu reaktor tipe ini yang terkenal
karena mengalami kecelakaan adalah reaktor Chernobyl No.4 yang merupakan
reaktor tipe RBMK-1000. Salah satu kegagalan desain pada
reaktor tipe RBMK yang dianggap sebagai
kambing hitam terjadinya kecelakaan Chernobyl adalah tidak tersedianya
bejana pengungkung reaktor.
Reaktor Cepat (Fast
Reactor, FR), Reaktor Pembiak Cepat (Liquid Metal Fast Breeder
Reactor, LMFBR) : Seperti tersirat dalam nama
tipe reaktor ini, neutron cepat yang dihasilkan dari reaksi fisi
dengan kecepatan tinggi dikondisikan sedemikian rupa
sehingga diserap oleh uranium-238 menghasilkan
plutonium-239. Dengan kata lain di dalam reaktor dapat dibiakkan
(dibuat) unsur plutonium. Rapat daya dalam
teras reaktor cepat sangat tinggi, oleh karena itu sebagai pendingin
biasanya digunakan bahan logam natrium cair atau logam cair campuran
natrium dan kalium (NaK) yang mempunyai
kemampuan tinggi dalam mengambil panas dari bahan bakar.
Konstruksi reaktor pembiak cepat terdiri dari pendingin primer yang
berupa bahan logam cair mengambil panas dari bahan bakar dan kemudian
mengalir ke alat penukar panas-antara (intermediate heat exchanger),
selanjutnya energi panas ditransfer ke pendingin sekunder dalam alat
penukar panas-antara ini. Kemudian pendingin sekunder (bahan pendingin
adalah natrium cair atau logam cair natrium) yang tidak mengandung bahan
radioaktif akan mengalir membawa panas yang diterima dari pendingin
primer menuju ke perangkat pembangkit uapdan memberikan panas ke
pendingin tersier (air ringan) sehingga temperaturnya meningkat dan
mendidih (proses pembangkitan uap). Uap yang dihasilkan selanjutnya
dialirkan ke turbin untuk memutar generator listrik yang dikopel dengan
turbin. Komponen sistem primer dari reaktor pembiak cepat terdiri dari
bejana reaktor, pompa sirkulasi primer, alat penukar panas-antara.
Komponen ini dirangkai oleh pipa penyalur pendingin membentuk suatu
untai (loop), karena itu reaktor seperti ini digolongkan dalam
kelas reaktor untai. Apabila seluruh komponen sistem primer di atas
semuanya dimasukkan ke dalam bejana reaktor, maka reaktor pembiak cepat
seperti ini digolongkan dalam kelas reaktor tangki atau reaktor kolam.
Contoh reaktor pembiak cepat tipe reaktor untai adalah reaktor prototipe
Monju di Jepang, sedangkan untuk tipe reaktor kolam adalah reaktor
Super Phenix di Perancis yang sudah menjadi reaktor komersial. Reaktor
Cepat Eropa (Europian Fast Reactor, EFR) yang secara intensif
dikembangkan oleh negara-negara Eropa diharapkan akan mulai
masuk pasar komersial pada tahun 2010.
Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir selalu menggelitik para pendengar, pembaca atau
pemirsa di media koran, televisi atau media lainnya. PLTN akan selalu
memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat awam terhadap
teknologi tersebut, maupun di golongan ilmuwan yang mengerti secara umum
terhadap perkembangan teknologi PLTN. Dalam pengoperasian pembangkit listrik tenaga
nuklir, jaminan terhadap keselamatan menjadi hal yang penting untuk
memberikan rasa aman kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Untuk
meningkatkan pemahaman dan kepercayaan masyarakat, perlu diberikan
penjelasan tentang tata cara atau prosedur yang aman dalam pengoperasian
suatu instalasi nuklir, sehingga akan terjadi saling pengertian antara
masyarakat dengan pihak operator instalasi. Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir dapat menjadi alternatif untuk menggantikan pembangkit tipe base
(beban dasar) berbahan bakar fosil di masa yang akan datang.
Tabel 1. Komposisi pendingin
dan moderator reaktor pada suatu reaktor prototipe
4.6
Pembangkit Listrik Energi Terbarukan
Dalam 10 tahun terakhir ini, kebutuhan dunia akan sumber
energi terbarukan meningkat dengan laju hampir 25% per tahun.
Peningkatan ini didorong oleh: (i) naiknya kebutuhan energi listrik;
(ii) naiknya keinginan untuk menggunakan teknologi yang bersih; (iii)
terus naiknya harga bahan bakar fossil; (iv) naiknya biaya pembangunan
saluran transmisi dan (v) naiknya untuk meningkatkan jaminan pasokan
energi. Agar peran energi terbarukan bisa meningkat dengan cepat maka
harga dan keandalan sistem pembangkit listrik berbasis energi terbarukan
harus bisa bersaing dengan pembangkit konvensional.
4.6.1 Tenaga
Air
Yunani
tercatat sebagai negara pertama yang memanfaatkan tenaga air untuk
memenuhi kebutuhan energi listriknya. Pada akhir tahun 1999, tenaga air
yang sudah berhasil dimanfaatkan di dunia adalah sebesar 2650 TWh, atau
sebesar 19 % energi listrik yang terpasang di dunia. Kemajuan-kemajuan
yang terjadi dalam teknologi komputer dan komunikasi merupakan daya
dorong utama untuk perkembangan otomatisasi
pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sumber energi yang
mengandalkan debit air dan ketinggian jatuhnya air ini diharapkan bisa
menjawab ketersediaan energi terutama di daerah yang hingga kini belum
teraliri oleh perusahaan listrik negara.
Indonesia mempunyai potensi
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 70.000 mega watt (MW).
Potensi ini baru dimanfaatkan sekitar 6 persen atau 3.529 MW atau 14,2 %
dari jumlah energi pembangkitan PT PLN. Berdasarkan konstruksinya, ada
dua cara pemanfaatan tenaga air untuk pembangkit listrik: (i) membangun
bendungan dan membuat reservoir untuk mengalirkan air ke turbin; (ii)
memanfaatkan aliran air sungai tanpa membangun bendungan dan reservoir
atau yang sering disebut dengan Run-of-river Hydropower.
Seperti terlihat pada Gambar 8.
Secara umum cara kerja
pembangkit listrik tenaga air adalah dengan mengambil air dalam jumlah
debit tertentu dari sumber air (sungai, danau, atau waduk) melalui intake,
kemudian dengan menggunakan pipa pembawa (headrace) air
diarahkan menuju turbin. Namun sebelum menabrak turbin, air dilewatkan
ke pipa pesat (penstock) tujuannya adalah meningkatkan energi
dalam air dengan memanfaatkan gravitasi. Selain itu pipa pesat juga
mempertahankan tekanan air jatuh, oleh karena itu pipa pesat tidak
boleh bocor. Turbin yang tertabrak air akan memutar generator dalam
kecepatan tertentu, sehingga terjadilah proses konversi energi dari
gerak ke listrik. Sementara air yang tadi digunakan untuk memutar turbin
dikembalikan ke alirannya.
Besarnya energi yang dapat
dikonversi menjadi energi listrik bergantung pada ketinggian jatuh air (Head)
dan begitu pula pemilihan turbin untuk PLTA. Pada Tabel 2
menjelaskan tentang panduan umum penggunaan berbagai macam turbin untuk
berbagai macam ketinggian jatuh air. Gambar 9 memperlihatkan
bentuk-bentuk dari turbin air.
Keunggulan Pembangkit Listrik Tenaga Air umumnya
terlihat jelas dari sisi ekonomidan lingkungan. Secara ekonomis,
walaupun memerlukan bendungan, ternyata PLTA memiliki ongkos produksi
yang relatif rendah. Selain itu PLTA pun umumnya memiliki umur yang
panjang, yaitu 50-100 tahun. Bendungan yang digunakan pun biasanya dapat
sekaligus digunakan untuk kegiatan lain, seperti irigasi atau sebagai
cadangan air dan pariwisata. Sedangkan dari segi lingkungan berkurangnya
emisi karbon akibat digunakannya sumber energi bersih seperti air,
jelas merupakan kontribusi berharga bagi lingkungan.
Namun ada juga efek negatif pada lingkungan akibat
dibangunnya PLTA, yaitu mengganggu keseimbangan ekosistem sungai atau
danau tempat dibangunnya bendungan untuk PLTA. Selain itu pembangunan
bendungan juga memakan biaya waktu yang lama. Terkadang, walaupun sangat
jarang, kerusakan pada bendungan dapat menyebabkan resiko kerugian yang
sangat besar.
Belakangan semakin marak digunakannya
mikrohidro, pembangkit listrik tenaga air skala kecil (dibawah 100 kW),
sebagai sumber pasokan listrik di desa-desa kecil dan terpencil. PLTA
mikrohidro semakin dipilih mengingat banyaknya sungai kecil yang ada di
Indonesia. Potensi mikrohidro di Indonesia ada 458,75 MW dan baru
terpasang 84 MW. Selain itu teknologinya yang mudah pun menjadi suatu
nilai tambah bagi penduduk desa dalam memanfaatkan aliran sungai sebagai
sumber energi primer untuk pembangkit listrik.
4.6.2 Tenaga
Surya
Di antara sumber energi alternatif yang saat ini banyak
dikembangkan seperti turbin angin, tenaga air (hydro power) dan
lain-lain, tenaga surya atau solar sel merupakan salah satu sumber yang
cukup menjanjikan di Indonesia. Energi yang dikeluarkan oleh sinar
matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69 % dari
total energi pancaran matahari. Suplai energi surya dari sinar matahari
yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya yaitu
mencapai 3 x 1024 joule pertahun, energi ini setara dengan 2 x 1017
Watt. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi
energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1
persen saja permukaan bumi dengan divais solar sel yang memiliki
efisiensi 10 % sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh
dunia saat ini.
Pada tengah hari yang cerah radiasi sinar matahari mampu
mencapai 1000 Watt/m2. Jika sebuah divais semikonductor
seluas 1 m2 memiliki efisiensi 10 % maka modul solar sel ini
mampu memberikan tenaga listrik sebesar 100 Watt. Saat ini efisiensi
modul solar sel komersial berkisar antara 5 – 15 % tergantung material
penyusunnya.
Karena fleksibel, sel surya yang dihasilkan bisa
dibentuk seperti genting, jendela, atau bentuk bagian bangunan lainnya.
Hambatan utama dari penerapan teknologi ini adalah mahalnya teknologi
peralatan yang dipakai untuk memproduksinya. Teknologi terbaru yang
masih dalam tahap pengembangan adalah sel surya berbasis bahan organik.
Teknologi yang digunakan berbeda jauh dengan teknologi sel surya
konvensional. Jika teknologi manufaktur yang murah bisa diciptakan maka
sel surya organik semacam ini bisa jauh lebih murah dibanding sel surya
konvensional.
Masalah utama penggunaan energi surya untuk PLTS adalah
ketersediannya. Energi matahari hanya tersedia di siang hari. Oleh sebab
itu, PLTS harus bekerjasama dengan pembangkit lain untuk meningkatkan
keandalannya. Untuk itu, tegangan DC yang dihasilkan oleh modul
fotovoltaik harus diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan
inverter. Tegangan bolak-balik yang dihasilkan inverter harus mempunyai
bentuk dan frekuensi yang baik agar bisa diparalelkan dengan jaringan
listrik yang ada.
Gambar 10 memperlihatkan skema
pembangkit listrik tenaga surya skala kecil yang dipakai untuk skala
rumah tangga. Tegangan DC yang dihasilkan sel surya diubah menjadi
tegangan AC dengan menggunakan inverter. Inverter diparalel dengan
tegangan jala-jala (misal PLN). Sebagian energi listrik yang dihasilkan
sel surya akan dikonsumsi sendiri. Jika berlebih, energi listrik yang
dihasilkan bisa dijual ke jaringan PLN. Pembangkit listrik semacam ini
tidak memerlukan batere sebagai penyimpan energi.
PLTS tidak hanya berguna bagi rakyat Indonesia yang
tinggal di daerah kepulauan untuk meningkatkan kemandirian di bidang
energi tetapi juga berguna bagi penduduk pulau Jawa yang ingin
mengurangi beban PLN atau mengurangi emisi CO2. Di banding
pembangkit batu bara, PLTS mempunyai peluang mengurangi lebih dari 1 kg
CO2 untuk setiap kWh energi listrik yang dibangkitkannya.
Pemasangan PLTS bisa digunakan untuk meningkatkan image perusahaan dalam
memperoleh sertifikat ramah lingkungan. Di banyak negara maju, memiliki
sertifikat ramah lingkungan terbukti sangat berguna dalam menarik
investor dan menaikkan harga saham.
Sampai tahun 2025, pemerintah Indonesia berencana
memasang PLTS sampai 1000 MW. Jika melihat kebutuhan akan PLTS dunia,
maka peluang bisnis PLTS sangat-sangat besar. Sayangnya, hanya sedikit
orang Indonesia yang menguasai teknologi ini. Tidak ada industri di
Indonesia yang memproduksi sel surya, biasanya baru terbatas merakitnya.
Seperti halnya pembangkit listrik energi terbarukan lainnya, hanya
sedikit orang atau industri di Indonesia yang menguasai teknologi
elektronika daya yang diperlukan dalam PLTS.
Terus naiknya pasar pembangkit listrik berbasis PLTS
harus digunakan sebagai momentum untuk mempersiapkan diri sehingga
rakyat Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dan penonton. Persiapan
ini harus mencakup persiapan sumber daya manusia, industri, dan
peraturannya. Hambatan subsidi yang menyebabkan penerapan penerapan PLTS
kurang ekonomis harus secara bertahap diatasi.
4.6.3 Tenaga
Angin
Pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB)
mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam 20 tahun terakhir ini,
terutama di belahan Eropa utara. Jerman dan Denmark telah menggunakan
tenaga angin untuk membangkitkan hampir 20% kebutuhan energi listriknya.
Pada akhir tahun 2010, diperkirakan PLTB terpasang di dunia akan
mencapai lebih dari 150 GW.
Sebagai negara yang berada di ekuator, potensi dari PLTB
memang tidak terlalu besar. Akan tetapi berdasarkan data yang ada, ada
beberapa daerah di Indonesia, misal NTB dan NTT, yang mempunyai potensi
bagus. Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kecepatan angin
rata-rata sekitar 4 m/s, kecuali di dua propinsi tersebut. Oleh sebab
itu, PLTB yang cocok dikembangkan di Indonesia adalah pembangkit dengan
kapasitas di bawah 100 kW. Tentu saja ini berbeda dengan Eropa yang
berkonsentrasi untuk mengembangkan PLTB dengan kapasitas di atas 1 MW
atau lebih besar lagi untuk dibangung di lepas pantai.
Masalah utama dari penggunaan PLTB adalah
ketersediaannya yang rendah. Untuk mengatasi masalah ini maka PLTB harus
dioperasikan secara paralel dengan pembangkit listrik lainnya.
Pembangkit listrik lainnya bisa berbasis Sumber Energi Alternatif (SEA)
atau pembangkit konvensional. Walaupun sebuah PLTB hanya membangkitkan
daya kurang dari 100 kW, kita bisa membangun puluhan PLTB dalam satu
daerah. Dengan memanfaatkan PLTB maka kebutuhan akan bahan bakar fossil
akan jauh berkurang. Selain mengurangi biaya operasi, penggunaan PLTB
akan meningkatkan jaminan pasokan energi suatu daerah. Di daerah
kepulauan seperti halnya NTB dan NTT, yang mana semua kebutuhan
energinya harus didatangkan dari daerah lain, keberadaan PLTB akan
membantu meningkatkan kemandiriannya. Di banding dengan diesel, PLTB
mempunyai potensi mengurangi emisi CO2 sebesar 700 gram untuk
setiap kWh energi listrik yang dibangkitkan.
Gambar 10 memperlihatkan skema PLTB
yang cocok untuk daya kurang dari 100 kW. Turbin angin memutar generator
tegangan bolak-balik. Karena kecepatan angin berubah-ubah maka tegangan
AC yang dihasilkan generator mempunyai frekuensi yang berubah-ubah.
Tegangan AC yang frekuensinya berubah-ubah ini harus diubah menjadi
tegangan DC yang tetap dengan menggunakan penyearah. Tegangan DC ini
selanjutnya diubah menjadi tegangan AC frekuensi 50 Hz dengan
menggunakan inverter. Keluaran inverter diparalel dengan jaringan
listrik yang ada. Dengan menggunakan konsep ini, semua energi listrik
yang dibangkitkan oleh PLTB bisa dikirim ke jaringan untuk dimanfaatkan.
Pembangkit semacam ini juga tidak memerlukan batere yang mahal dan
butuh pemeliharaan rutin.
Teknologi turbin atau kincir angin yang diperlukan
dalam PLTB telah dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri
lokal telah mampu membuatnya dengan baik. Generator yang digunakan bisa
menggunakan generator induksi (yang murah dan kokoh) atau generator
magnet permanen yang efisien. Kedua teknologi generator ini telah
dikuasai oleh orang Indonesia dan beberapa industri telah mampu
membuatnya. Yang menjadi masalah adalah bahan baku yang sebagian besar
harus didatangkan dari luar. Teknologi penyearah dan inverter juga
dikuasai oleh orang Indonesia walaupun industri yang mampu membuatnya
masih terbatas. Di Indonesia juga tidak tersedia orang yang menguasai
teknologi komponen elektronika daya, apalagi industrinya. Semua komponen
elektronika daya harus didatangkan dari luar. Di Indonesia, peneliti
yang mendalami teknologi elektronika daya juga sangat terbatas.
Perkembangan kebutuhan akan pembangkit listrik berbasis SEA ini
sebaiknya diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri
elektronika daya berserta sumber daya manusianya.
4.7
Biomassa
Bioenergi adalah
istilah umum bagi energi yang dihasilkan melalui material organik,
seperti kayu, tanaman pertanian, sekam, sampah, atau kotoran hewan.
Berdasarkan sumbernya, bioenergi dapat dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu yang dari hasil pertanian dan budidaya, dan yang dari limbah
buangan, seperti buangan tanaman sisa panen, kotoran hewan, sampah kota,
limbah pabrik, dsb.
Banyak yang
menyangsikan kalau bioenergi adalah salah satu solusi energi terbarukan,
terutama untuk bioenergi yang bersumber dari hasil pertanian dan
budidaya. Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan yang sangat besar
dan waktu produksi yang terlalu lama. Terlebih lagi ternyata selisih
antara energi keluaran dan energi fosil yang terpakai selama proses
tidak terlalu signifikan. Selain itu walaupun ditujukan untuk mengurangi
polusi CO2, produksi bioenergi bukan berarti tanpa CO2, walaupun memang
jumlahnya jauh lebih sedikit daripada CO2 yang dihasilkan dari produksi
energi fosil. Sehingga tantangan kedepan agar bioenergi dapat bersaing
dengan sumber energi lainnya adalah bagaimana meningkatkan efisiensi
dari teknologi prosesnya dan bagaimana mempercepat produksi sumber
energinya.
Pengolahan biomassa
menjadi bioenergi dapat dilakukan dalam tiga cara : (i) pembakaran
biomassa padat (ii) produksi bahan bakar gas dari biomassa (iii)
produksi bahan bakar cair dari biomassa.
Cara yang pertama
adalah dengan membakar langsung biomassa dan diambil energi panasnya.
Energi panas ini dapat digunakan untuk apa saja, bisa sebagai pemanas
ruangan, ventilasi, atau jika dalam terminologi kelistrikan, energi
panas ini kemudian digunakan untuk memanaskan dan menguapkan air pada
aplikasi turbin uap. Biomassa yang digunakan bisa apa saja, namun
umumnya adalah sisa produk hutan dan pertanian, arang, atau sampah kota
(pada PLTSa).
Pengolahan biomassa
dengan cara ini umumnya sudah ditinggalkan (kecuali pada PLTSa), karena
walaupun teknologinya sederhana namun efisiensinya sangat rendah. Selain
itu biomassa padat memiliki kerapatan energi yang relatif kecil,
sehingga proses transportasinya memakan biaya yang besar.
Khusus untuk biomassa
sampah kota, PLTSa dapat menjadi solusi yang menarik untuk
dikembangkan, mengingat produksi sampah kota terus meningkat dari tahun
ke tahun. PLTSa di dunia kini sudah mencapai lebih dari 3 GW dengan
setengahnya berada di eropa. Di Indonesia sendiri PLTSa masih menjadi
solusi yang sulit untuk diterapkan. Penolakan terhadap PLTSa umumnya
disebabkan kekhawatiran masyarakat akan pencemaran lingkungan, terutama
pencemaran udara. Namun tidak perlu khawatir karena teknologi PLTSa yang
berkembang saat ini sudah dilengkapi dengan sistem pengeringan dan
filter abu. Sistem ini berfungsi untuk mengurangi unsur-unsur kimia
berbahaya yang terkandung pada abu gas buangan, sehingga gas buangan
PLTSa masih dalam taraf aman.
Cara yang kedua
adalah produksi biomassa dalam bentuk gas. Ada beberapa alasan dibalik
berkembangnya teknologi ini. Hasil yang didapatkan melalui produk biogas
ini selain dapat dimanfaatkan untuk pembakaran biasa / pemanasan,
ternyata bisa juga digunakan sebagai bahan bakar pada mesin bakar dan
turbin gas. Produk biogas juga menawarkan efisiensi yang lebih tinggi
dari pembakaran biomassa padat, selain itu karena dalam bentuk gas,
penyalurannya relatif lebih mudah (bisa dengan menggunakan pipa).
Konversi kedalam
bentuk gas dapat dilakukan melalui proses biokimia dan termokimia. Untuk
proses biokimia, digunakan anaerob yang kemudian akan memecah materi
organik kedalam senyawa gula, dan kemudian menjadi zat asam, dan
akhirnya menjadi gas. Pada tahun 1999, Inggris telah memiliki 1-MW-anaerobic-disgestion-plant. Sementara di Cina ada 5 juta pembangkit
anaerob skala kecil pada pertengahan 1990 dan di India ada 2.8 juta yang
sudah terpasang sejak 1998 dan akan membangun lagi 12 juta pembangkit
anaerob skala kecil. Untuk proses termokimia, gasifikasi dilakukan
dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan proses gasifikasi batu bara,
hanya saja yang menjadi objeknya adalah biomassa. Produksi gasifikasi
dalam kondisi tertentu dapat menghasilkan gas sintesis, kombinasi antara
hidrokarbon dan hidrogen. Dari gas sintesis ini hampir seluruh
hidrokarbon, bensin sintesis dan bahkan hidrogen murni dapat dibentuk
(yang nantinya dapat digunakan pada fuel cell). Tantangan dari biogas
ini adalah proses pembuatannya yang rumit, dan di negara berkembang
seperti indonesia ini masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk
investasi awalnya.
Cara yang ketiga
adalah dengan memproduksi biofuel cair dari biomassa. Fokus terbesar
pengembangan bioenergi terletak pada biofuel sebagai pengganti bahan
bakar minyak. Ada tiga macam olahan biofuel yang dapat mereduksi
penggunaan bahan bakar minyak, yaitu (i) bio-ethanol (ii) bio-diesel
(iii) bio-oil.
Bio-ethanol
didapatkan melalui proses fermentasi. Proses fermentasi ini membutuhkan
produk gula, sehingga sumber paling efektif untuk digunakan dalam
produksi bio-etanol ini adalah tebu. Brazil adalah negara terbesar
penghasil ethanol dari residu gula. Kegunaan dari bio-ethanol adalah
dapat mereduksi penggunaan bensin, yaitu dengan mencampurkan bio-ethanol
kedalam bensin (premium). Salah satu produknya yang sudah banyak
dikenal adalah Gasohol E-10, didapatkan dengan mencampurkan 10%
Bio-ethanol dengan 90% premium. Seiring dengan perkembangan teknologi,
bukan tidak mungkin campuran Bio-ethanol di kemudian hari akan semakin
besar persentasenya.
Bio-diesel didapatkan
melalui transesterifikasi minyak sayur (diekstrak dari biji-bijian
seperti jarak, kelapa sawit, dsb). Sebenarnya minyak sayur dapat
digunakan langsung pada mesin diesel, hal senada diungkapkan oleh Dr
Rudolf Diesel pada tahun 1911 dalam tulisannya, hal ini disebabkan
minyak sayur memiliki kandungan energi yang tidak jauh berbeda (37-39
Gj/t) dengan solar (42 Gj/t). Namun bio-diesel lebih dipilih karena
minyak sayur memiliki pembakaran yang tidak sempurna jika dioperasikan
langsung pada mesin diesel. Kegunaan dari bio-diesel adalah dapat
mereduksi penggunaan solar, yaitu dengan mencampurkan bio-diesel kedalam
solar. Salah satu produknya yang sudah banyak dikenal adalah Biodiesel
B-10, didapatkan dengan mencampurkan 10% Bio-diesel dengan 90% solar. Di
beberapa negara iklim tropis seperti filipina dan Brazil, campuran 70%
solar dengan 30% minyak sayur tanpa transesterifikasi dilakukan untuk
menggantikan diesel. Namun, biasanya sektor pangan dan kosmetik mau
membayar lebih mahal, sehingga hal tersebut hanya dilakukan pada daerah
tertentu yang kekurangan supply solar. Produksi biodiesel dunia kini
mencapai lebih dari 1.5 juta ton per tahunnya. Dan kini pemerintah USA
serta Inggris sedang mengembangkan teknologi biodiesel dari minyak
jelantah.
Bio-oil didapatkan
melalui proses pyrolisis dari sekam, tempurung kelapa, jarak atau kelapa
sawit. Proses ini melibatkan penguapan material biomassa sehingga
terbagi menjadi uap dan padatan residu. Kemudian uapnya diembunkan
sehingga dihasilkan cairan bio-oil yang membawa kandungan energi cukup
besar. Bio-oil digunakan sebagai pengganti solar industri (IDO), Marine Fuel Oil (MFO), dan kerosin. Bio-oil dapat digunakan
pada pembangkit listrik diesel
4.8
Tenaga Panas Bumi (Geothermal)
Sebelum abad 20, fluida panas bumi
(geothermal) hanya digunakan untuk mandi, mencuci dan memasak. Dewasa
ini pemanfaatan fluida panas bumi sangat beraneka ragam, baik untuk
pembangkit listrik maupun untuk keperluan lainnya di sektor non-listrik,
yaitu untuk pemanas ruangan, rumah kaca, tanah pertanian, pengering
hasil pertanian dan peternakan, pengering kayu dll.
Pemanfaatan energi panas bumi secara umum
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pemanfaatan tidak langsung dan
pemanfaatan langsung. Pemanfaatan tidak langsung yaitu memanfaatkan
energi panas bumi untuk pembangkit listrik. Sedangkan pemanfaatan
langsung yaitu memanfaatkan secara langsung panas yang terkandung pada
fluida panas bumi untuk berbagai keperluan.
Fluida panas bumi yang telah dikeluarkan
ke permukaan bumi mengandung energi panas yang akan dimanfaatkan untuk
menghasilkan energi listrik. Hal ini dimungkinkan oleh suatu sistem
konversi energi fluida panas bumi (geothermal power cycle) yang mengubah
energi panas dari fluida menjadi energi listrik.
Fluida panas bumi bertemperatur tinggi
(>225 oC) telah lama digunakan di beberapa negara
untuk pembangkit listrik, namun beberapa tahun terakhir ini
perkembangan teknologi telah memungkinkan digunakannya fluida panas bumi
bertemperatur sedang (150-225 oC) untuk pembangkit listrik.
Selain temperatur, faktor-faktor lain yang
biasanya dipertimbangkan dalam memutuskan apakah suatu sumber daya
panas bumi tepat untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik adalah
sebagai berikut: (i) Sumberdaya mempunyai kandungan panas atau cadangan
yang besar sehingga mampu memproduksi uap untuk jangka waktu yang cukup
lama, yaitu sekitar 25-30 tahun. (ii) Sumber daya panas bumi
menghasilkan fluida yang mempunyai pH hampir netral agar laju korosinya
relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat terkorosi.
Selain itu hendaknya kecenderungan fluida membentuk skala yang relatif
rendah. (iii) Reservoirnya tidak terlalu dalam, biasanya tidak lebih
dari 3 km. (iv) Sumber daya panas bumi terdapat di daerah yang relatif
tidak sulit dicapai. (v) Sumber daya panas bumi terletak di daerah
dengan kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal yang relatif rendah.
Proses produksi fluida panas bumi dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya erupsi hidrotermal.
Energi panas bumi yang relatif tidak
menimbulkan polusi dan terdapat menyebar di seluruh kepulauan Indonesia
(kecuali Kalimantan) sesungguhnya merupakan salah satu energi yang tepat
untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik di masa yang akan datang
untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan listrik nasional yang cenderung
terus meningkat.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi
(PLTP) pada prinsipnya sama seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU), hanya pada PLTU uap dibuat di permukaan menggunakan boiler,
sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir panas bumi. Apabila
fluida di kepala sumur berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat
dialirkan langsung ke turbin, dan kemudian turbin akan mengubah energi
panas bumi menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga
dihasilkan energi listrik. Apabila fluida panas bumi keluar dari kepala
sumur sebagai campuran fluida dua fasa (fasa uap dan fasa cair) maka
terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada fluida. Hal ini
dimungkinkan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa
uap akan terpisahkan dari fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari
separator inilah yang kemudian dialirkan ke turbin.
Untuk kandungan panas atau cadangan yang
relatif kecil, namun mempunyai suhu yang cukup tinggi untuk dimanfaatkan
menjadi pembangkit listrik, bisa digunakan untuk pembangkit listrik
berskala kecil dengan kapasitas terpasang antara 1-5 MW. Di beberapa
tempat pembangkit dibangun dengan kapasitas kecil, seperti di Fang
Thailand yang berkapasitas 300 kW.
Pada dasarnya pembangkit tenaga panas
bumi dapat di bangun mengikuti permintaan beban listrik. Pembangkit
tenaga kecil biasanya dibangun menggunakan pendekatan modular yang dapat
mengurangi biaya konstruksi dan dapat ditempatkan dekat ke sumur
sehingga keseluruhan proyek mempunyai dampak lingkungan yang minimal.
Pembangkit tenaga kecil telah memainkan peranan penting dalam
perkembangan dan penggunaan tenaga panas bumi. Kunci sukses pembangkit
tenaga panas bumi skala kecil adalah tidak membangun pembangkit yang
kapasitasnya melebihi permintaan, dan selalu mencari kemungkinan
penyatuan sistem pemanfaatan langsung air panas untuk memperbaiki
perekonomian perusahaan pembangkit dan juga masyarakat setempat.
5. Penutup
Dengan memperhatikan
kecenderungan-kecenderungan perkembangan teknologi yang kini terjadi,
beberapa catatan dapat dibuat. Penggunaan gas bumi sebagai bahan bakar
pembangkitan energi listrik akan meningkat dengan pesat di Indonesia.
Pemanfaatan batubara juga akan meningkat, sekalipun tidak setajam gas.
Posisi batubara sebagai bahan bakar utama masih dapat dipertahankan
untuk beberapa tahun kedepan. Penggunaan energi nuklir secara global
akan menggantikan peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil (minyak
bumi – batubara – gas alam) secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan
listrik dengan karakteristik beban yang konstan (Jawa – Bali).
Pemanfaatan minyak akan banyak menurun. Minat akan energi terbarukan
akan meningkat juga, sekalipun secara relatif memiliki peran yang masih
kecil.
Melimpahnya tenaga surya yang merata dan dapat ditangkap
di seluruh
kepulauan Indonesia hampir sepanjang tahun merupakan sumber
energi listrik yang sangat potensial. Oleh karena itu, PV dan biomassa diperkirakan akan meningkat dengan pesat.Selain itu ada juga pemanfaatan energi panas bumi bisa menjadi alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Tetapi pemanfaatan energi panas bumi tidak bisa maksimal karena persediaannya sangat terbatas dan teknologi untuk mengelolanya dianggap mahal.
kepulauan Indonesia hampir sepanjang tahun merupakan sumber
energi listrik yang sangat potensial. Oleh karena itu, PV dan biomassa diperkirakan akan meningkat dengan pesat.Selain itu ada juga pemanfaatan energi panas bumi bisa menjadi alternatif yang murah dan ramah lingkungan. Tetapi pemanfaatan energi panas bumi tidak bisa maksimal karena persediaannya sangat terbatas dan teknologi untuk mengelolanya dianggap mahal.
Efisiensi
pembangkitan tenaga listrik akan meningkat, bukan saja karena teknologi
pembangkitannya menjadi lebih baik, akan tetapi juga karena pengusahaan
tenaga listrik makin lama makin banyak mempergunakan otomatisasi. Dan
juga perlu disebut masalah lingkungan akan menjadi lebih kecil karena
perkembangan teknologi yang lebih bersahabat lingkungan.
Dukung Fendy Sutrisna untuk tetap berbagi
dalam artikel ketenagalistrikan Indonesia dengan klik link LIKE, COMMENT
& SHARE atau SUKA,KOMENTARI & BAGIKAN halaman facebook berikut
->
Catatan Fendy Sutrisna
REFERENCE :
-
Paul Breeze, Power Generation Technologies, Jordan Hill, Oxford,2005.
-
Presidential degree 5, 2006
-
Dr. Ir. Pekik A. Dahono, Sumber Energi Alternatif (SEA),Laboratorium Penelitian Konversi Energi Elektrik, Teknik Elektro ITB
-
Prof. Ir. Abdul Kadir, IPM, Beberapa Kecenderungan Perkembangan Teknologi Pembangkit Listrik, Ketua Sekolah Tinggi Teknik Yayasan PLN, Jakarta
-
Dr. Ir. Wilson Walery Wenas, Teknologi Sel Surya : Perkembangan Dewasa Ini dan yang Akan Datan,Laboratorium Semikonduktor, Fisika-ITB
-
Teguh Priyambodo, Pembangkit Listrik Tenaga Surya: Memecah Kebuntuan Kebutuhan Energi Nasional dan Dampak Pencemaran LingkunganUntuk lebih jelas dan lengkapnya kami anjurkan untuk langsung saja klik pada sumbernya ^_^ salam hormat untuk Mas Fendi SutrisnaSumber : http://konversi.wordpress.com/2009/02/18/pembangkit-listrik-masa-depan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar